Ketoprak (kethoprak) adalah kesenian rakyat Jawa yang berasal dari Jawa Tengah, diyakini terlahir di Surakarta dan berkembang pesat di Yogyakarta. Sebuah bentuk teater yang mengandung unsur utama berupa dialog, tembang dan dagelan dengan diiringi oleh Gamelan.
Pemainnya terdiri dari pria dan wanita yang membawakan gerak laku cenderung realistik, meski pada awal perkembangannya didapati sedikit unsur tari didalamnya.
Ketoprak merupakan seni panggung yang khas terutama melalui ceritanya yang mempertunjukkan kisah-kisah masyakarat Jawa, baik kisah legenda, kepahlawanan, ataupun kehidupan sehari-hari.
Ada juga yang mengusung cerita fiksi atau selainnya, namun tema cerita tidak pernah diambil dari repertoar cerita epos Ramayana dan Mahabharata.
Sebagai kesenian yang lahir dari rakyat, kethoprak lebih kentara dengan sifat-sifat spontan, improvisasi dan tidak terikat aturan-aturan baku yang formal.
Meskipun dikatakan berasal dari Jawa Tengah, pada kenyataannya kesenian ini berkembang luas dan dinikmati oleh masyarakat di seantero Jawa.
Hal ini disebabkan kebiasaan kelompok kethoprak menjelajah seluruh daerah di Jawa. Mereka manggung dan membawakan cerita-cerita masyarakat kepada masyarakat lainnya.
Dalam hal ini, Ketoprak mengandung unsur pendidikan, komunikasi tentang isu-isu dalam masyarakat sekaligus menjadi hiburan yang digemari.
Asal-usul Istilah “Kethoprak”
Perihal penamaan kesenian ini, ketika merujuk tulisan Kuswadji Kawindrasusanta dalam kertas kerjanya yang disampaikan pada Lokakarya Ketoprak Tahap I tanggal 7-9 Februari 1974 di Yogyakarta.
Dinyatakan bahwa kata Kethoprak berasal dari nama sebuah alat, ialah tiprak. Kata tiprak ini bermula dari prak. Sebab bunyi tiprak adalah prak, prak, prak. (Sudyarsana, 1989:23)
Sementara itu, pada halaman 9-10 dalam Serat Pustaka Raja Purwa jilid II tulisan dari pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Kolfbunning, 1923) disebutkan “…tetabuhan ingkang nama kethoprak tegesipun kothekan“.
Pada bagian Sri Tumurun pada buku yang sama, Sri bersedia turun ke dunia apabila disambut dengan prak ketiprak tanpa gending. (Sudyarsana, 1989:23)
Sejarah Kesenian Ketoprak
Ketika membaca periodesasinya, cikal bakal Kesenian Ketoprak bermula di tahun 1887 melalui beberapa pemuda desa yang memainkan lesung sambil menari dan melantunkan tembang dolanan, hingga terciptalah seni pertunjukan sederhana.
Kemudian pada kisaran tahun 1914, RM Wreksodiningrat yang seorang seniman tari dan Wayang Wong di Keraton Surakarta menciptakan kesenian kethoprak.
Lahirnya kesenian ini adalah terinspirasi oleh kondisi masyarakat saat itu yang memang membutuhkan hiburan baru. Masyarakat sudah bosan dengan hiburan lama yang mereka dengar hanya melalui lisan.
Dulu para pemainnya adalah laki-laki karena menyesuaikan tema yang lebih mengarah ke peperangan dan pengembaraan. Selanjutnya, seiring dengan bertambahnya variasi alur cerita, pemain wanita pun dilibatkan.
Pertunjukan kethoprak biasanya berlangsung sekitar 4-6 jam dengan dialog berbahasa Jawa kromo inggil dan ngoko. Bahasa digunakan sesuai dengan tingkatan, misalnya raja dengan raja, raja dengan abdi, serta abdi atau rakyat biasa dengan sesamanya.
Umumnya dialog para pemain lebih berpedoman pada naskah yang telah dibuat oleh sutradara. Pada mulanya seni tari lebih mendominasi pertunjukan dengan tambahan sedikit dialog. Selanjutnya, meski unsur tari tetap dipertahankan, secara bertahap porsi dialog pun ditambahkan.
Periode Perkembangan Ketoprak
Awalnya, Kesenian Ketoprak hanya dipertunjukkan di lingkungan keraton saja. Baru pada kisaran tahun 1922 di masa Kerajaan Mangkunegaran di Surakarta, kesenian ini mulai bisa dinikmati oleh umum. Saat itu, pementasannya masih sangatlah sederhana dengan diiringi oleh gamelan lesung, alu, kendang dan seruling.
Oleh karena berbeda dengan Wayang Wong yang ceritanya cenderung sudah pakem, kethoprak lebih mudah digemari masyarakat karena ceritanya lebih seputar kehidupan kerajaan.
Sehubungan dengan ceritanya juga, seiring perkembangannya pada tahun 1942, kesenian ini sempat dilarang untuk dipentaskan oleh pemerintahan Jepang.
Pelarangan tersebut berkaitan dengan pantun-pantun serta alur cerita yang banyak menyindir pemerintahan Jepang. Dalam perjalanannya, seni kethoprak diwarnai banyak perubahan, terlebih sehubungan dengan bentuk maupun istilahnya.
Berikut ini adalah periodesasi perkembangan Ketoprak dari masa ke masa :
Periode Gejog atau Lesung (1887-1908)
Periode masa-masa awal lahirnya Ketoprak. Dimulai oleh beberapa pemuda yang memainkan lesung sambil menari dan melantunkan tembang atau lagu-lagu dolanan. Dari sini mulailah tercipta sebuah seni pertunjukan yang menghadirkan alur cerita sederhana seputar kehidupan di desa.
Periode Wreksadiningrat (1908-1925)
Periode masa kejayaan kethoprak di Kraton Surakarta. Adalah K.R.M.T.H Wreksadiningrat yang memboyong kesenian ini ke dalam keraton.
Di keraton kesenian ini dipoles beberapa bagian termasuk lesung yang berubah menjadi gamelan, penambahan kendang seruling dan terbang.
Lagu dolanan diganti dengan tembang macapat dan tembang tengahan. Semuanya cenderung disesuaikan dengan keagungan keraton.
Periode Wrektasama (1925-1927)
Pada masa inilah, ketoprak dipentaskan diluar tembok keraton setelah periode sebelumnya berakhir tanpa ada yang meneruskan. Sang pendiri, Ki Wisangkara adalah mantan pemain Ketoprak Wreksadiningrat.
Perubahan dalam periode ini adalah penambahan iring-iringan musik seperti saron, gitar, biola, mandolin, kenong, kempul dan gong. Meskipun gending-gendingnya masih sama, namun alur cerita menjadi lebih berani dengan menampilkan cerita babad atau kisah berdirinya suatu kerajaan.
Periode Krida Madya Utama (1927-1930)
Berbeda dengan kelompok-kelompok sebelumnya yang menetap di suatu daerah, kelompok ini secara rutin berkeliling mementaskan kethoprak dari kota ke kota.
Sejak masa inilah, kesenian ini menjadi sangat terkenal. Menyebar dan memasyarakat di lingkungan pedesaan dan pesisir Jawa tengah, termasuk di Yogyakarta.
Periode Gardanela (1930-1955)
Pada masa ini kesenian Ketoprak kembali mengalami perubahan dan penyempurnaan. Alat pengiring telah berubah menjadi seperangkat gamelan lengkap berlaras pelog serta tata busana yang digunakan tidak lagi menyamai aslinya, yakni pakaian kebesaran keraton.
Sementara itu, beberapa alur cerita sudah ada yang diadaptasi dari luar negeri seperti Sampek Engtay, Johar Manik.
Periode Ketoprak Moderen (1955-1958)
Salah satu keunikan dalam periode ini adalah terlahirnya grup-grup kethoprak kecil di masing-masing daerah. Menariknya, setiap grup telah memiliki pengemar sendiri-sendiri.
Periode Gaya Baru (1958-1987)
Seiring perkembangannya dari masa ke masa, pada periode ini mulai diadakan perlombaan kethoprak. Perlombaan tersebut diikuti dan diramaikan oleh beberapa grup dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Periode Masa Kini
Pada kurun waktu 1980-1990an, Ketoprak tumbuh menjadi ketoprak plesetan. Pertunjukan dikemas lebih bebas lagi dalam hal cerita, dialog, serta tokoh-tokoh yang dimainkan. Adapun pada 1995an, kesenian ini lebih menonjolkan sisi humornya sehingga lahirlah istilah ketoprak humor.
Fungsi Kesenian Kethoprak
Sebagai sebuah media tradisional, kesenian Ketoprak memiliki peran besar dalam penyampaian filosofi terhadap suatu jenis kesenian. Oleh karena memiliki audiensi luas serta kredibilitas yang tinggi dimata orang pedesaan, pesan yang ingin disampaikan pun menyebar tanpa paksaan.
Selain itu, kethoprak juga sebagai alat komunikasi dua arah yang berperan penting dalam aspek bidang ekonomi, budaya dan media komunikasi di masyarakat. Secara garis besar, kesenian Kethoprak memiliki empat fungsi utama, diantaranya :
Fungsi Ritual
Secara tradisional, Kethoprak merupakan sarana untuk melakukan upacara ritual yang menjadi prasyarat dalam sebuah acara. Dalam hal ini, pertunjukan yang ada di beberapa daerah masih berpijak pada aturan tradisi yang berlaku.
Masih ada anggapan dengan terlaksananya kesenian ini maka ritual serta permohonan diharapkan dapat berjalan lancar, sehingga tidak jarang sebelum pertunjukan dimulai terdapat beberapa sesaji.
Fungsi Pendidikan
Tokoh dan lakon sering dijadikan panutan bagi para penonton yang menikmatinya. Disini para seniman Kethoprak memiliki misi yang ingin disampaikan melalui dialog, gerakan dan tarian.
Ada transformasi nilai-nilai budaya, sehingga para seniman dituntut mampu memberikan pelajaran yang bermakna, baik dalam dialog dan alur ceritanya serta gerakan-gerakan yang ditampilkan.
Adapun yang paling menonjol adalah penuturan dialog yang membedakan penggunaan bahasa ngoko dan krama inggil yang disesuaikan dengan kedudukan.
Fungsi Penerangan
Tidak bisa dipungkiri bahwa Kethoprak kaya akan sindiran-sindiran atau kritik sosial. Seperti diketahui, kebanyakan masyarakat menganut paham paternalistik, sehingga sangat kesulitan untuk melakukan kritik secara langsung.
Oleh karena kritikan yang ada didalamnya pula, Ketoprak sempat dilarang dimasa pemerintahan Jepang. Selain kritikan, pesan pembangunan juga dapat pula tersampaikan sesuai dengan keinginan dengan topik kebersamaan, kesetiaan, kepatuhan, atau bahkan masukan yang membangun.
Fungsi Hiburan
Sebagai sebuah seni pertunjukan, apalagi sangat digemari oleh masyarakat luas, Kethoprak sangatlah menghibur. Kesukaan masyarakat terhadap kesenian ini, terutama karena kemasan dan sajiannya yang ringan, tidak serius dan sering diselingi dengan lawak.
0 Komentar